RESENSI
The falling leaf doesn’t hate the wind, sebuah kalimat
anonymous yang dipopulerkan dalam film Jepang
Zatoichi,
telah menjadi inspirasi atas lahirnya judul novel karangan Tere-Liye
ini. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada
bulan Juni 2010, agak telat sepertinya kalau saya menjabarkan ulasan
novel ini sekarang. Tapi tak apalah, untuk para pembaca yang belum
memiliki buku ini, maka saya sangat merekomendasikannya untuk menjadi
salah satu koleksi buku Anda.
Yang pertama kali menarik perhatian
saya untuk mendekati novel ini adalah judulnya. Saat itu yang pertama
kali terlintas di benak bahwa novel ini akan bercerita tentang sebuah
kisah cinta dimana salah satunya selalu merasa tersakiti oleh
pasangannya. Tapi rasa sakit yang dirasakannya tak bisa mengalahkan rasa
sayangnya. Tapi ternyata perkiraan saya salah. Tere-Liye menyajikannya
menjadi sebuah cerita yang unik dan menarik. Ah, seperti biasa,
Tere-Liye memang jagonya kalau soal membuat pembaca merasa penasaran.
Kalau
kalian membaca bait pertama yang ada di halaman belakang novel ini,
maka kalian akan mulai merasakan satu langkah masuk ke pintu imajinasi
Tere-Liye.
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan
Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan
tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.
Tania, dan adiknya, Dede, adalah anak jalanan yang biasa mencari
uang dengan mengamen. Suatu malam, saat berada di dalam bus untuk
mengamen, tanpa sadar kaki Tania berdarah karena menginjak paku. Ya,
kedua kakak beradik ini berjalan tanpa alas kaki, mereka tak mampu
membeli uang untuk membeli alas kaki, katanya. Sontak hal ini membuat
seorang pemuda, Danar, segera membantunya dengan membalut kaki Tania
dengan sapu tangannya. Ya, inilah awal pertemuan Tania dan Danar, yang
bahkan jarak umur mereka mencapai 14 tahun.
Sejak saat itu, Danar
mengubah kehidupan Tania dan keluarganya menjadi lebih baik. Mereka
yang selama ini tinggal di rumah kardus, sekarang sudah bisa tinggal di
rumah kontrakan. Tania dan Dede juga mulai sekolah setelah sebelumnya
sempat berhenti. Kehidupan mereka pun menjadi lebih baik setelah bertemu
dengan Danar. Danar pun sering mengajak Tania dan Dede untuk pergi ke
toko buku yang terletak di Jalan Margonda Raya. Toko buku itu kemudian
menjadi tempat favorit mereka karena disana mereka bisa bertukar cerita,
melamun, mengkhayal dan menikmati indahnya malam dari dinding kaca
lantai dua toko buku tersebut.
Ada yang sangat menarik dari novel
ini. Mungkin karena Pak Darwis Tere-Liye adalah Dosen di kampusku,
Universitas Indonesia. Maka latar yang ia sampaikan dalam novel ini
benar-benar bisa aku rasakan layaknya dalam kehidupan nyata. Seperti
saat ia bercerita tentang Tania dan Dede yang tidak memakai alas kaki.
Rasanya setiap kali aku ke kampus UI Depok maka aku akan selalu
menemukan anak-anak penjual koran yang tak memakai alas kaki. Saat
kutanya mengapa mereka tak beralas kaki, jawabannya sama, “Aku gak punya
uang, Kak” Tak hanya itu, aku tahu persis toko buku yang diceritakan
oleh Tere-Liye ini, berlantai dua dengan dinding kaca, saat kau melihat
ke luar dari dinding kaca maka kau bisa melihat kehidupan orang-orang di
kota Depok. Ya, tak salah lagi, ini toko buku Gramedia yang ada di
Jalan Margonda Raya Depok, dekat sekali dengan kampusku. Iseng, saat aku
berkunjung ke toko buku itu, aku mencoba membayangkan latar-latar yang
dibangun oleh Tere-Liye saat bercerita. Ohya, benar sekali, sangat
tenang rasanya saat kau berdiri di depan dinding kacanya dan melihat ke
luar, boleh dicoba J
Bait kedua dan ketiga,
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih
sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan
lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak
pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu
muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Siapa sangka, Tania kecil bisa jatuh cinta pada pria dewasa yang
bahkan berbeda empat belas tahun lebih tua darinya. Itulah sebabnya dia
berusaha keras untuk menjadi wanita yang cantik dan cerdas agar bisa
sepadan dengan malaikatnya, Danar. Waktu berjalan cepat dengan kemajuan
yang cepat pula. Tania tumbuh menjadi perempuan dewasa yang hebat. Dia
bersekolah di Singapura tepat setelah Ibunya meninggal. Saat itu, Danar
sudah seperti keluarganya sendiri.
Tania tak pernah tahu
bagaimana perasaan Danar terhadapnya. Di satu sisi Tania berpikir bahwa
mungkin Danar hanya menganggapnya sebagai adiknya tapi di sisi lain
Tania ingin Danar menjadi miliknya, menjadi suaminya. Tapi semua berubah
saat Tania mendengar kabar bahwa Danar akan menikah dengan seorang
perempuan bernama Ratna. Hatinya hancur.
Bait keempat,
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah
menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah…
Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah
membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
Waktu pun berlalu. Danar sudah membangun rumah tangganya dengan
Ratna dan Tania pun tetap melanjutkan pendidikannya di Singapura. Saat
Tania pulang ke Indonesia, ada suatu hal mengejutkan yang tak pernah ia
tahu sebelumnya. Mau tahu apa? Baca novelnya ya hehehe :D
Ada satu kalimat yang sangat aku suka dalam novel ini, dikutip dari halaman 196,
“Bahwa
hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus
mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman
yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman
itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan” bagus sekali bukan? :)
Bahasa
yang disampaikan oleh Tere-Liye dalam novel ini cukup ringan dan mudah
dimengerti oleh semua level pembaca. Alurnya juga bagus. Latar yang
disampaikan jelas dan mampu membawa pembaca seperti benar-benar berada
di tempatnya. Penokohannya sangat menarik menurut saya, karena
Tere-Liye, entah berdasarkan riset apa tapi dia mampu menjelma sebagai
tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata, tidak hanya sekedar imajinasi
belaka. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa kita ambil dengan
mengikuti aliran ceritanya. Hanya satu kekurangannya, ruang lingkup
cerita terlalu kecil menurut saya. Entahlah, karena mungkin saya adalah
tipe pembaca yang sangat suka dengan latar yang luas dan dipenuhi dengan
banyak tokoh. Ini yang tidak terdapat di dalam novel ini, menurut saya.
Tapi tetap tidak mengurangi ‘bagusnya’ novel ini, sama bagusnya seperti
novel-novel hebat Tere-Liye yang lain. Selamat membaca :)
Judul : Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang : Tere Liye
Tahun Terbit : Juni 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hal : 264 halaman
Kategori : Fiksi, Novel
Harga : Rp. 43.000,-